A.
PENGERTIAN KARAKTER
Menurut bahasa, karakter adalah tabiat atau kebiasaan.
Sedangkan menurut ahli psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan
kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu. Karena itu, jika
pengetahuan mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui, maka dapat
diketahui pula bagaimana individu tersebut akan bersikap untuk kondisi-kondisi
tertentu.
Dilihat dari sudut pengertian,
ternyata karakter dan akhlak tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya
didefinisikan sebagai suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran lagi
karena sudah tertanam dalam pikiran, dan dengan kata lain, keduanya dapat
disebut dengan kebiasaan.
B. MEKANISME PEMBENTUKAN KARAKTER
1. Unsur dalam Pembentukan Karakter
Unsur terpenting dalam pembentukan
karakter adalah pikiran karena pikiran, yang di dalamnya terdapat seluruh
program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya, merupakan pelopor segalanya.
Program ini kemudian membentuk sistem kepercayaan yang akhirnya dapat membentuk
pola berpikirnya yang bisa mempengaruhi perilakunya. Jika program yang tertanam
tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran universal, maka perilakunya
berjalan selaras dengan hukum alam. Hasilnya, perilaku tersebut membawa
ketenangan dan kebahagiaan. Sebaliknya, jika program tersebut tidak sesuai
dengan prinsip-prinsip hukum universal, maka perilakunya membawa kerusakan dan
menghasilkan penderitaan. Oleh karena itu, pikiran harus mendapatkan perhatian
serius.
Tentang pikiran, Joseph Murphy mengatakan
bahwa di dalam diri manusia terdapat satu pikiran yang memiliki ciri yang
berbeda. Untuk membedakan ciri tersebut, maka istilahnya dinamakan dengan
pikiran sadar (conscious mind) atau pikiran objektif dan pikiran bawah
sadar (subconscious mind) atau pikiran subjektif. Penjelasan Adi W.
Gunawan mengenai fungsi dari pikiran sadar dan bawah sadar menarik untuk
dikutip.
Pikiran sadar yang secara fisik terletak di bagian
korteks otak bersifat logis dan analisis dengan memiliki pengaruh sebesar 12 %
dari kemampuan otak. Sedangkan pikiran bawah sadar secara fisik terletak di medulla
oblongata yang sudah terbentuk ketika masih di dalam kandungan. Karena itu,
ketika bayi yang dilahirkan menangis, bayi tersebut akan tenang di dekapan
ibunya karena dia sudah merasa tidak asing lagi dengan detak jantung ibunya.
Pikiran bawah sadar bersifat netral dan sugestif.
Untuk memahami cara kerja pikiran, kita perlu tahu bahwa
pikiran sadar (conscious) adalah pikiran objektif yang berhubungan
dengan objek luar dengan menggunakan panca indra sebagai media dan sifat
pikiran sadar ini adalah menalar. Sedangkan pikiran bawah sadar (subsconscious)
adalah pikiran subjektif yang berisi emosi serta memori, bersifat irasional,
tidak menalar, dan tidak dapat membantah. Kerja pikiran bawah sadar menjadi
sangat optimal ketika kerja pikiran sadar semakin minimal.
Pikiran sadar dan bawah sadar terus berinteraksi. Pikiran
bawah sadar akan menjalankan apa yang telah dikesankan kepadanya melalui sistem
kepercayaan yang lahir dari hasil kesimpulan nalar dari pikiran sadar terhadap
objek luar yang diamatinya. Karena, pikiran bawah sadar akan terus mengikuti
kesan dari pikiran sadar, maka pikiran sadar diibaratkan seperti nahkoda
sedangkan pikiran bawah sadar diibaratkan seperti awak kapal yang siap
menjalankan perintah, terlepas perintah itu benar atau salah. Di sini, pikiran
sadar bisa berperan sebagai penjaga untuk melindungi pikiran bawah sadar dari
pengaruh objek luar.
Kita ambil sebuah contoh. Jika media masa memberitakan
bahwa Indonesia semakin terpuruk, maka berita ini dapat membuat seseorang
merasa depresi karena setelah mendengar dan melihat berita tersebut, dia
menalar berdasarkan kepercayaan yang dipegang seperti berikut ini, “Kalau
Indonesia terpuruk, rakyat jadi terpuruk. Saya adalah rakyat Indonesia, jadi
ketika Indonesia terpuruk, maka saya juga terpuruk.” Dari sini, kesan yang
diperoleh dari hasil penalaran di pikiran sadar adalah kesan ketidakberdayaan
yang berakibat kepada rasa putus asa. Akhirnya rasa ketidakberdayaan tersebut
akan memunculkan perilaku destruktif, bahkan bisa mendorong kepada tindak
kejahatan seperti pencurian dengan beralasan untuk bisa bertahan hidup. Namun,
melalui pikiran sadar pula, kepercayaan tersebut dapat dirubah untuk memberikan
kesan berbeda dengan menambahkan contoh kalimat berikut ini, “...tapi aku punya
banyak relasi orang-orang kaya yang siap membantuku.” Nah, cara berpikir
semacam ini akan memberikan kesan keberdayaan sehingga kesan ini dapat
memberikan harapan dan mampu meningkatkan rasa percaya diri.
Dengan memahami cara kerja pikiran tersebut, kita
memahami bahwa pengendalian pikiran menjadi sangat penting. Dengan kemampuan
kita dalam mengendalikan pikiran ke arah kebaikan, kita akan mudah mendapatkan
apa yang kita inginkan, yaitu kebahagiaan. Sebaliknya, jika pikiran kita lepas
kendali sehingga terfokus kepada keburukan dan kejahatan, maka kita akan terus
mendapatkan penderitaan-penderitaan, disadari maupun tidak.
2. Proses Pembentukan Karakter
Sebelum penulis melanjutkan pembahasan,
mari kita kaji ilustrasi berikut ini.. Di dalam sebuah ruangan, terdapat
seorang bayi, dan dua orang dewasa. Mereka duduk dalam posisi melingkar.
Kemudian masuk satu orang lain yang membawa kotak besar berwarna putih ke arah
mereka. Setelah meletakkan kotak tersebut di tengah-tengah mereka, orang
tersebut langsung membuka tutupnya agar keluar isinya. Apa yang terjadi...?
ternyata setelah dibuka, terlihat ada tiga ular kobra berwarna hitam dan besar
yang keluar dari kotak tersebut. Langsung saja, salah seorang dari mereka lari
ketakutan, sedangkan yang lainnya justru berani mendekat untuk memegang ular
agar tidak membahayakan, dan, tentu saja, si bayi yang ada di dekatnya tetap
tidak memperlihatkan respon apa-apa terhadap ular.
Nah, begitu juga dengan kehidupan
manusia di dunia ini. Kita semua dihadapkan dengan permasalahan yang sama,
yaitu kehidupan duniawi. Akan tetapi respon yang kita berikan terhadap
permasalahan tersebut berbeda-beda. Di antara kita, ada yang hidup penuh
semangat, sedangkan yang lainnya hidup penuh malas dan putus asa. Di antara
kita juga ada yang hidup dengan keluarga yang damai dan tenang, sedangkan di
antara kita juga ada yang hidup dengan kondisi keluarga yang berantakan. Di
antara kita juga ada yang hidup dengan perasaan bahagia dan ceria, sedangkan
yang lain hidup dengan penuh penderitaan dan keluhan. Padahal kita semua
berangkat dari kondisi yang sama, yaitu kondisi ketika masih kecil yang penuh
semangat, ceria, bahagia, dan tidak ada rasa takut atau pun rasa sedih.
Pertanyaannya yang ingin diajukan di
sini adalah “Mengapa untuk permasalahan yang sama, yaitu kehidupan duniawi,
kita mengambil respon yang berbeda-beda?” jawabannya dikarenakan oleh kesan
yang berbeda dan kesan tersebut dihasilkan dari pola pikir dan kepercayaan yang
berbeda mengenai objek tersebut. Untuk lebih jelas, berikut penjelasannya.
Secara alami, sejak lahir sampai
berusia tiga tahun, atau mungkin hingga sekitar lima tahun, kemampuan menalar
seorang anak belum tumbuh sehingga pikiran bawah sadar (subconscious mind) masih
terbuka dan menerima apa saja informasi dan stimulus yang dimasukkan ke
dalamnya tanpa ada penyeleksian, mulai dari orang tua dan lingkungan keluarga.
Dari mereka itulah, pondasi awal terbentuknya karakter sudah terbangun. Pondasi
tersebut adalah kepercayaan tertentu dan konsep diri. Jika sejak kecil kedua
orang tua selalu bertengkar lalu bercerai, maka seorang anak bisa mengambil
kesimpulan sendiri bahwa perkawinan itu penderitaan. Tetapi, jika kedua orang
tua selalu menunjukkan rasa saling menghormati dengan bentuk komunikasi yang
akrab maka anak akan menyimpulkan ternyata pernikahan itu indah. Semua ini akan
berdampak ketika sudah tumbuh dewasa.
Selanjutnya, semua pengalaman hidup
yang berasal dari lingkungan kerabat, sekolah, televisi, internet, buku, majalah,
dan berbagai sumber lainnya menambah pengetahuan yang akan mengantarkan
seseorang memiliki kemampuan yang semakin besar untuk dapat menganalisis dan
menalar objek luar. Mulai dari sinilah, peran pikiran sadar (conscious)
menjadi semakin dominan. Seiring perjalanan waktu, maka penyaringan
terhadap informasi yang masuk melalui pikiran sadar menjadi lebih ketat
sehingga tidak sembarang informasi yang masuk melalui panca indera dapat mudah
dan langsung diterima oleh pikiran bawah sadar.
Semakin banyak informasi yang diterima
dan semakin matang sistem kepercayaan dan pola pikir yang terbentuk, maka
semakin jelas tindakan, kebiasan, dan karakter unik dari masing-masing
individu. Dengan kata lain, setiap individu akhirnya memiliki sistem
kepercayaan (belief system), citra diri (self-image), dan
kebiasaan (habit) yang unik. Jika sistem kepercayaannya benar dan
selaras, karakternya baik, dan konsep dirinya bagus, maka kehidupannya akan
terus baik dan semakin membahagiakan. Sebaliknya, jika sistem kepercayaannya
tidak selaras, karakternya tidak baik, dan konsep dirinya buruk, maka
kehidupannya akan dipenuhi banyak permasalahan dan penderitaan.
Kita ambil sebuah contoh. Ketika masih
kecil, kebanyakan dari anak-anak memiliki konsep diri yang bagus. Mereka ceria,
semangat, dan berani. Tidak ada rasa takut dan tidak ada rasa sedih. Mereka
selalu merasa bahwa dirinya mampu melakukan banyak hal. Karena itu, mereka
mendapatkan banyak hal. Kita bisa melihat saat mereka belajar berjalan dan
jatuh, mereka akan bangkit lagi, jatuh lagi, bangkit lagi, sampai akhirnya
mereka bisa berjalan seperti kita.
Akan tetapi, ketika mereka telah
memasuki sekolah, mereka mengalami banyak perubahan mengenai konsep diri
mereka. Di antara mereka mungkin merasa bahwa dirinya bodoh. Akhirnya mereka
putus asa. Kepercayaan ini semakin diperkuat lagi setelah mengetahui bahwa
nilai yang didapatkannya berada di bawah rata-rata dan orang tua mereka juga
mengatakan bahwa mereka memang adalah anak-anak yang bodoh. Tentu saja, dampak
negatif dari konsep diri yang buruk ini bisa membuat mereka merasa kurang
percaya diri dan sulit untuk berkembang di kelak kemudian hari.
Padahal, jika dikaji lebih lanjut, kita
dapat menemukan banyak penjelasan mengapa mereka mendapatkan nilai di bawah
rata-rata. Mungkin, proses pembelajaran tidak sesuai dengan tipe anak, atau
pengajar yang kurang menarik, atau mungkin kondisi belajar yang kurang
mendukung. Dengan kata lain, pada hakikatnya, anak-anak itu pintar tetapi
karena kondisi yang memberikan kesan mereka bodoh, maka mereka meyakini dirinya
bodoh. Inilah konsep diri yang buruk.
Contoh yang lainnya, mayoritas ketika
masih kanak-kanak, mereka tetap ceria walau kondisi ekonomi keluarganya rendah.
Namun seiring perjalanan waktu, anak tersebut mungkin sering menonton sinetron
yang menayangkan bahwa kondisi orang miskin selalu lemah dan mengalami banyak
penderitaan dari orang kaya. Akhirnya, anak ini memegang kepercayaan bahwa
orang miskin itu menderita dan tidak berdaya dan orang kaya itu jahat. Selama
kepercayaan ini dipegang, maka ketika dewasa, anak ini akan sulit menjadi orang
yang kuat secara ekonomi, sebab keinginan untuk menjadi kaya bertentangan
dengan keyakinannya yang menyatakan bahwa orang kaya itu jahat. Kepercayaan ini
hanya akan melahirkan perilaku yang mudah berkeluh kesah dan menutup diri untuk
bekerjasama dengan mereka yang dirasa lebih kaya.
Nah, untuk lebih memahami tentang
proses pembentukan karakter tersebut, berikut ini adalah ilustrasi-ilustrasi
yang menggambarkan tentang proses tersebut.
Sumber :
1. N.K. Singh
dan Mr. A.R. Agwan, Encyclopaedia of the Holy Qur’ân, (New Delhi: balaji
Offset, 2000) Edisi I h. 175
2. Rhonda
Byrne, The Secret, (Jakarta: PT Gramedia, 2007), h.17
3. Joseph Murphy D.R.S., Rahasia
Kekuatan Pikiran Bawah Sadar, (Jakarta, SPEKTRUM, 2002), h. 6.
4. Adi W. Gunawan, Hypnosis – The Art
of Subconscious Communication, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005)
h. 27-30.
5. Adi W.
Gunawan dan Ariesandi Setyono, Manage Your Mind for Success, (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006) h. 38
6. Ariesandi
Setyono, Hypnoparenting: Menjadi Orangtua Efektif dengan Hipnosis,
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 50
0 komentar:
Posting Komentar